Image Credit: ziliun
Pernahkan kamu berpikir berapa banyak orang meninggal karena kurangnya persediaan kantong darah. Menurut data dari kementrian kesehatan, Indonesia kekurangan 1 Juta kantong darah pertahunnya. Bahkan per tahun 2013 Indonesia mengalami kekurangan kantong darah hingga 2,4 Juta kantong. Kondisi ini membuat Leonika Sari, CEO Reblood memutuskan untuk membangun startup yang membantu masyarakat untuk mengedukasi dan mempermudah pendonoran darah.
Wanita lulusan Institut Teknologi Sepuluh November yang juga ikut serta pada MITx Global Entrepreneurship Program ini sudah mencintai dunia IT dan Biologi semenjak masih remaja. Sebelum menjadi Reblood, Leonika Sari mengembangkan blood bank information system yang dimatangkan pada program tersebut.
Awalnya, wanita yang lebih akrab disapa Leo ini sempat berpikir untuk menjadi dokter. Tetapi pertimbangannya terhadap lamanya pendidikan dan kemungkinan lain yang bisa dilakukan dalam dunia kesehatan tanpa harus menjadi dokter telah mengantarkannya untuk mempelajari dunia IT pada tingkat pendidikan tinggi.
Sulitnya memenuhi kebutuhan kantong darah di Indonesia sebenarnya disebabkan karena pendonor yang sedikit. Ada berbagai macam faktor yang biasanya menyebabkan mereka yang ideal sebagai pendonor tidak bisa atau tidak mau mendonorkan darahnya. Mayoritas pendonor darah biasanya berumur antara 17 - 40 tahun. Masalahnya, mereka yang berada pada kategori umur ini biasanya sibuk bekerja, kuliah atau sekolah. Bahkan ketika bersedia menjadi pendonor, mereka sering kali ditolak karena berbagai macam sebab seperti tekanan darah yang kurang baik, kurang tidur, atau belum sarapan.
Reblood mencoba memberikan solusi terhadap permasalahan ini dengan memberikan informasi acara donor darah yang tersebar diberbagai tempat, mulai dari donor darah di kantor, pusat perbelanjaan, hingga universitas maupun sekolah. Melalui aplikasi Reblood, pendonor juga diberikan sebuah notifikasi pengingat yang akan membantu pendonor untuk menyiapkan kesehatan badannya agar bisa lolos persyaratan sebagai pendonor pada saat hari-H.
Reblood juga memasukan unsur gamifikasi berupa pengumpulan poin bagi mereka yang mendonorkan darahnya. Pengguna Reblood bisa menukarkan poin yang sudah dikumpulkan dengan reward yang sudah ditentukan. Hal ini dilakukan untuk menaikan motivasi masyarakat agar mau mendonorkan darahnya.
Perjuangannya dalam membuat Reblood ternyata memberikannya banyak pembelajaran. Sebelumnya Leo telah mencoba membuat startup dengan teman-temanya tetapi mengalami kegagalan karena berbagai macam hal. Melalui kegagalan tersebut, Leo belajar bahwa dalam membangun startup haruslah profesional, kita tidak boleh merasa tidak enak hanya karena berteman dekat. Tim yang memiliki komitmen kuat juga menjadi faktor kunci dibanding hanya memilih anggota yang pintar.
Dari pelajarannya menjadi partisipan dalam MITx dan perjuangannya membangun startup, wanita yang sudah menjadi CEO sejak umur 22 tahun ini menyadari bahwa yang dibutuhkan untuk bisa sukses membangun startup adalah sifat persistence dan jangan mudah menyerah. Untuk menjadi sukses bukanlah hal yang mudah, karena jika kesuksesan mudah diraih, maka akan ada banyak Bill Gates atau Mark Zuckerberg lain bertebaran di mana-mana saat ini.
Jika kalian ingin mendengar lebih banyak cerita inspirasi dari Leonika Sari dalam membangun Reblood, yuk hadir di acara Career Expo idtalent - MMTC 2017 Yogyakarta dan bertemu langsung dengan sang CEO yang pernah menjadi salah satu '30 Under 30' versi Forbes. Silahkan daftarkan diri kalian di sini.
0 Comments