Belum lama ini inc. (11/7/2017) telah merilis sebuah berita mengenai tiga Fintech yang sedang naik daun di Asia Tenggara. Tersemat satu buah nama Fintech dari Indonesia di dalam daftar yang ada.
Kartuku, sebuah perusahaan financial technology buatan Niki Luhur yang bergerak di bidang jasa pembayaran. Kebanyakan orang lebih mengenal Kartuku hanya sebagai penyedia mesin EDC (Electronic Data Capture).
Seperti yang sudah diyakini oleh para pengamat, bisnis yang paling menjanjikan di Asia Tenggara saat ini adalah pembayaran digital. Niki Luhur sangat setuju dengan hal ini, pernyataan ini juga semakin terlihat optimis karena didukung dengan pendapatan yang mencapai 15 Juta Dolar di tahun 2015 dan kemungkinan akan berlipat ganda di tahun 2020.
Walaupun demikian, Luhur juga tetap waspada dengan tantangan yang akan terjadi di Indonesia. Menghadirkan sebuah pembayaran non tunai di Indonesia tentu memberikan pekerjaan berat. Tantangan yang paling berat adalah mengedukasi dan menghubungkan bisnis yang ada, hal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Kartuku semenjak tahun 2001 sebelum kata fintech sepopuler saat ini.
Image Credit: http://inc-asean.com/
Bentuk penggunaan transaksi non-tunai di Indonesia sebenarnya sangat luas. Contohnya saja, ada orang yang menyukai transaksi pembayaran menggunakan aplikasi mobile dan ada juga yang menyukai penggunaan kartu kredit yang masih juga dianggap sebagai penegasan status. Diluar itu, masih ada orang-orang yang kurang menyukai transaksi online karena merasa curiga akan terlacak oleh petugas pajak. Jika melihat keadaan ini, penggunaan uang tunai masih akan berguna, begitu menurut Luhur menambahkan.
Selama sepuluh tahun terakhir, sebuah fenomena dimana para penyedia layanan pembayaran berlomba-lomba untuk merubah sistem lama yang sudah berjalan. Hal ini tidak sejalan dengan Luhur, menurutnya, “Kita tidak bisa bergerak cepat dan menghancurkan segalanya,” hal ini secara tidak langsung bersebrangan dengan konsep yang dipegang teguh para startup fintech. Pernyataan ini bahkan memancing sentiment dari para pionir fintech di Asia Tenggara.
Para pionir berpendapat, fintech tidak sama seperti layanan penyedia tempat tinggal, fintech memiliki regulasi yang jelas untuk dapat berkembang dan berinovasi sehingga hal ini tidak akan mendatangkan resiko yang berbahaya bagi konsumen. Ketakutan yang muncul karena kesalahan operator tidak jelas yang akan berimbas kepada reputasi perusahaan tidak akan terjadi pada fintech.
Image Credit:https://twitter.com/kartuku/
Pendapat yang bersebrangan ini tidak serta merta membuat Luhur yang juga selaku ketua Asosiasi Fintech Indonesia pesimis dengan bisnis ini. Dia percaya bahwa regulasi di Indonesia dan di Negara lain sedang mengarah kearah yang menjanjkan.
Pada bulan November 2016, Bank Indonesia mengeluarkan sebuah regulasi mengnai ijin persetujuan dan laporan untuk penyedia jasa layanan pembayaran dan uang elektronik. Bahkan BI juga meluncurkan sebuah badan khusus yang memonitoring sector ini. Walaupun terkesan mengekang, Luhur sebenarnya menyambut baik hal ini karena akan menaikkan standar keamanan data konsumen. Dengan demikian, para penyedia layanan akan mendapatkan legitimasi yang jelas terkait hal tersebut dan para penyedia layanan yang memiliki niat buruk bisa tersaring dengan sendirinya.
2 Comments